Rabu, 10 Agustus 2011

IDDAH


A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Didalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
Namun terkadang sering terjadi konflik keluarga, hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh.
Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian di lakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkan apakah pernikahan atau memutuskannya. Dan pada makalah ini yang insya Allah akan kita bahas secara tuntas tentang perkara iddah ini.

B. Pembahasan
1. Pengertian Iddah
Iddah secara etimologis diambil dari kata ‘adad yang berarti bilangan. Secara terminologis iddah berarti nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menunggu untuk perkawinan selanjutnya setelah wafat suaminya atau karena perpisahan (perseraian hidup) dengan suaminya.
Menurut Abu Zahrah dalam al-Ahwal Asy-Syah Siyah mengatakan bahwa iddah adalah suatu masa untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan.
Ashshon’ani mengatakan bahwa iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haidh atau beberapa bulan tertentu.
Menurut Imam Hanafi iddah adalah batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara’ karena ada bekas waktu yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
Sedangkan menurut imam Syafi’i dan Hanbali iddah adalah waktu menanti bagi seorang wanita untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai pengabdian diri kepada Allah SWT, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami.
Berdasarkan beberapa defenisi diatas dapat dirumuskan bahwa iddah itu ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ untuk waita agar tidak melakukan akad pernikahan dengan laki-laki lain dalam masa terebut, akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu.




2. Hukum Iddah
Hukum menjalani iddah adalah wajib bagi setiap istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai karena meninggal dunia, sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 228
                                             
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

3. Macam-Macam Iddah
Di dalam permasalahan iddah kita sering menemukan beberapa hal kesulitan, terutama membedakan sebab-sebab dan macam-macam iddah itu sendiri. Namun perlu di ketahui bahwa para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada iddah bagi wanita yang di carai suaminya sebelum di campuri. Namun ulama berbeda pendapat tentang suami yang telah melakukan khalwat terhadap istrinya.
Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali mengatakan apabila suami telah berkhalwat dengan istrinya tetapi ia tidak sampai mencampurinya kemudian ia mencaraikan istrinya maka istri wajib menjalani iddah seperti iddah orang yang telah dicampuri. Sedangkan Imam syafi’i mengatakan bahwa khalwat tidak menimbulkan akibat apapun. Di sini akan dikemukakan tentang sebab-sebab dan macam-macam iddah, yaitu antara lain:

a. Iddah wanita yang di cerai oleh suaminya
Setiap perceraian yang terjadi antara suami istri, kecuali talak ditinggal mati, iddahnya adalah iddah talak, baik hal itu terjadi melalui khulu’, li’an, fasakh karena adanya cacat, maupun fasakh akibat persaudaraan sesusuan atau perbedaan agama.
Betapapun para ulama mazhab sepakat atas wajibnya iddah bagi wanita yang di talak sesudah di campuri oleh suaminya, dan bahwasanya iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu dari ketiga macam iddah dibawah ini, yaitu:
1. Bagi wanita yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka wanita itu harus menjalani iddahnya sehingga ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Hal ini berdasarkan firman Allah (Q.S Ath-Thalaq:4) yang berbunyi:
                              
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Ulama mazhab sepakat apabila seorang wanita mengandung labih dari satu orang bayi maka ia baru dikatakan keluar iddahnya apabila semua bayi yang dikandungnya itu telah lahir. Namun mereka berbeda pendapat apabila wanita itu keguguran, yakni bayi yang lahir itu belum sempurna. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan wanita itu belum dianggap selesai masa iddahnya sebelum keluar janinnya secara keseluruhan. Imam Malik mengatakan wanita itu dianggap telah selesai iddahnya meskipun yang keluar itu sepotong dari janinnya.
2. Bagi wanita yang baligh tapi belum pernah mengalami haidh sama sekali dan wanita yang menopouse, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq:4
                              
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
3. Bagi wanita yang telah berusia sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopause dan sudah mengalami haidh, maka iddahnya adalah tiga quru’, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah: 228
    
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai pengertian quru’. Imam Maliki dan Syafi’i menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (dalam keadaan tidak haid) yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci (sedang tidak haidh) maka iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian di sempurnakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi dan Hanbali menginterpretasikan quru’ itu dengan masa haidh, yang apabila seorang wanita di cerai suaminya dalam keadaan suci, maka iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia di ceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani iddahnya tiga kali haidh penuh.

b. Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
Para jumhur ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan dia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu masih anak-anak ataupun sudah dewasa, baik dalam usia monepouse maupun tidak, sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini berdasarkan firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 234
                           
Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Iddah yang demikian itu apabila wanita itu terbukti betul-betul tidak hamil. Maka akan imbul pertanyaan bagaimana kalau wanita yang tinggal mati oleh suaminya itu terbukti hamil? Maka jumhur ulama sepakat, mereka mengatakan bahwa iddah untuk wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya adalah sampai di melahirkan bayinya, sekalipun masa kehamilannya telah mencapai delapan bulan, maka iddahnya berakhir apabila bayinya lahir dan ia sudah boleh menikah.

4. Problematika Quru’
Ada dua pendapat mengenai arti quru’ ini, pendapat pertama quru’ itu suci, sedangkan pendapat yang kedua quru’ itu haid, sucu itu adalah masa diantara dia haid, sedang haid adalah masa diantara dua suci.
Perbedaan dalam penafsiran kalimat (kata) quru’ itu menyebabkan adanya perbedaan kehalalan suami ruju’ mantan bekas istrinya, sebab perbedaan penafsiran ini dapat memanjang pendekkan masa iddah walaupun relatif tidak terlalu lama.
Dalam surah al-Baqarah: 228, ada kata quru’ adalah kata yang musytarak, artinya sedikitnya mengandung dua pengertian yang sama kuatnya, Imam syafi’i, Imam Malik, Umar r.a dan Zaid bin Tsabit berpendapat quru’ itu suci, sedangkan Imam Abu Hanifah, Ali r.a berpendapat kalau quru’ itu haid.
Bagi mereka yang berpendapat bahwa quru’ itu suci, batas akhir kehalalan suami untuk meruju’ istrinya adalah pada akhir suci ketiga, bila ia telah memasuki haid yang ketiga, suami tidak dapat lagi merujuk istrinya dan dia halal bagi laki-laki lain. Dan mereka yang berpendapat quru’ itu suci beranggapan bahwa quru’ berasal dari mufrad (singuler/satuan) qur’un yang berarti at-thuhru artinya suci. Sedangkan qur’un yang berarti haid, jamaknya adalah aqraa artinya haid, seperti bunyi hadits:


Artinya: “cegahlah (tinggalkanlah)shalat pada waktu haidmu, dan tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu.”
Arti kata aqraa dalam hadits tersebut adalah haid, oleh karena itu, tidak dapat dipakai quru’ sebab quru’ berarti suci. Perlu dingat bahwa thalak yang disepakati adalah thalak sunny, (di antaranya) thalak yang dijatuhkan pada masa suci. Dan kita disarankan ketika menjauhkan thalak, harus yang dapat memendekkan iddah wanita, dan itu hanya mungkin dijatuhkan pada masa suci.
Bagi yang berpendapat bahwa quru’ itu haid kebolehan suami ruju’ berakhir saat habisnya masa haid yang ketiga. Apabila masa haid yang ketiga itu lewat, artinya si istri memasuki masa suci, istri halal bagi laki-laki lain.

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri Selama Iddah
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang beriddah dari talak raj’i wajib memperoleh nafkah dan tempat tinggal, dan istri juga wajib menjalani iddahnya di rumah suaminya, begitu juga dengan wanita yang hamil dan suami berkewajiban memenuhinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq:6
                                    
Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Jika seorang istri itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka istri tersebut wajib berkabung atas kematian suaminya dengan meninggalkan pemakaian perhiasan dan wangi-wangian, istri juga wajib tinggal di rumah suaminya, artinya dia wajib menghabiskan masa iddahnya dirumah suaminya, dia tidak boleh keluar rumah dengan berlebihan, kecuali ada keperluan.
Namun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang kena thalak ba’in. istru yang di thalak ba’in apabila seorang istri itu hamil maka suami yang wajib menyediakan tempat tinggal dan nafkah untuknya. Namun apabila seorang istri yang di thalak ba’in itu tidak hamil, menurut Imam Hanafi ia juga berhak mendapat nafkah dari suaminya. Tetapi menurut Imam Hanbali tidak wajib baginya nafkah. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi’i wajib untuknya tempat tinggal, namun tidak wajib untuknya nafkah.

6. Batas Minimal Iddah
Apabila seorang istri mengalamai haidh, lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka Imam Malik dan Hanbali mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh, sedangkan Syafi’i mengatakan bahwa wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga dia mengalami haidh, atau memasuki usia menopouse dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan
Sedang imam Hanafi mengatakan apabila seorang wanita mengalami satu kali haidh lalu karena sakit atau menyususi haidhnya terputus sama sekali dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh, maka wanita tersebut tidak dinyatakan keluar iddahnya sampai kelak ia memasuki masa menopouse. Dengan demikian menurut Imam Hanafi dan Syafi’i masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
Apabila seorang istri di thalak suaminya dalam keadaan hamil, namun suaminya meninggal sebelum masa iddahnya habis maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan walaupun masa hamilnya sudah mencapai 8 bulan, atau bahkan kehamilannya hampir lahir. Maka hal ini adalah masa iddah yang paling singkat.

7. Hikmah Iddah
Dapat disimpulkan bahwa pengertian iddah adalah terkandung beberapa hikmah yang merupakan salah satu keteraturan hidup, yang antara lain adalah:
1. Penegasan, apakah dalam rahim wanita itu telah terkandung benih janin atau tidak.
2. Memberi kesempatan kepada suami apakah suami mau merujuk istri kembali setelah ia menceraikan atau tidak
3. Dengan iddah juga akan semakin tampak jelas betapa besarnya belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya, karena dengan iddah orang akan memahami betapa nikmatnya berkeluarga dan betapa malangnya perceraian sehingga Allah membenci perbuatan itu.
4. Hikmah yang lain adalah bila iddah itu untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka diwaktu itu ia lebih nampak berkabung, sehingga semakin terasa penghormatannya terhadap suami.
5. Membuat kesempatan pada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula
6. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpun orang-orang ‘arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berfikir panjang.
7. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.

Dalam pedoman perkawinan disebutkan bahwa hikmah iddah ialah:
1. Iddah adalah masa berfikir untuk kebali lagi atau berpisah
2. Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali
3. Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah
4. Masa peralihan untuk menentukan hidup baru
5. Sebagai waktu bergabung bila suaminya meninggal
6. Masa untuk menentukan kosong atau tidaknya istri dari suami.



C. Kesimpulan
Iddah merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menjaga kehormatan wanita, karena dengan iddah seorang wanita dapat dipastikan apakah dia hamil atau tidak, sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan juga sebagai berkabung apabila dia ditinggal mati oleh suaminya.
Pembagian Iddah itu ada dua macam, sedang iddah thalak di bagi lagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Iddah tiga bulan: yaitu kepada istri-istri yang dicarai dalam keadaan tidak haidh dan berada dalam usia menopouse.
2. Iddah tiga kali quru’, yaitu ada dua pendapat yang mengatakan quru’ itu adalah masa suci dan ada berpendapat yang mengatakan quru’ itu adalah masa haidh, ini merupakan iddah bagi istri-istri yang dicarai dalam keadaan suci maupun dalam keadaan haidh.
3. Iddah sampai melahirkan, yaitu kepada istri-istri yang cerai dalam keadaan hamil. Dan adapun iddah yang terjadi karena wafatnya suami yaitu masanya adalah empat bulan sepuluh hari, dimana pada masa iddah ini seorang istri wajib bekabung sebagai tanda penghormatan terhadap suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar