Rabu, 10 Agustus 2011

IDDAH


A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Didalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
Namun terkadang sering terjadi konflik keluarga, hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh.
Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian di lakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkan apakah pernikahan atau memutuskannya. Dan pada makalah ini yang insya Allah akan kita bahas secara tuntas tentang perkara iddah ini.

B. Pembahasan
1. Pengertian Iddah
Iddah secara etimologis diambil dari kata ‘adad yang berarti bilangan. Secara terminologis iddah berarti nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menunggu untuk perkawinan selanjutnya setelah wafat suaminya atau karena perpisahan (perseraian hidup) dengan suaminya.
Menurut Abu Zahrah dalam al-Ahwal Asy-Syah Siyah mengatakan bahwa iddah adalah suatu masa untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan.
Ashshon’ani mengatakan bahwa iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haidh atau beberapa bulan tertentu.
Menurut Imam Hanafi iddah adalah batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara’ karena ada bekas waktu yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
Sedangkan menurut imam Syafi’i dan Hanbali iddah adalah waktu menanti bagi seorang wanita untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai pengabdian diri kepada Allah SWT, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami.
Berdasarkan beberapa defenisi diatas dapat dirumuskan bahwa iddah itu ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ untuk waita agar tidak melakukan akad pernikahan dengan laki-laki lain dalam masa terebut, akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu.




2. Hukum Iddah
Hukum menjalani iddah adalah wajib bagi setiap istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai karena meninggal dunia, sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 228
                                             
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

3. Macam-Macam Iddah
Di dalam permasalahan iddah kita sering menemukan beberapa hal kesulitan, terutama membedakan sebab-sebab dan macam-macam iddah itu sendiri. Namun perlu di ketahui bahwa para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada iddah bagi wanita yang di carai suaminya sebelum di campuri. Namun ulama berbeda pendapat tentang suami yang telah melakukan khalwat terhadap istrinya.
Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali mengatakan apabila suami telah berkhalwat dengan istrinya tetapi ia tidak sampai mencampurinya kemudian ia mencaraikan istrinya maka istri wajib menjalani iddah seperti iddah orang yang telah dicampuri. Sedangkan Imam syafi’i mengatakan bahwa khalwat tidak menimbulkan akibat apapun. Di sini akan dikemukakan tentang sebab-sebab dan macam-macam iddah, yaitu antara lain:

a. Iddah wanita yang di cerai oleh suaminya
Setiap perceraian yang terjadi antara suami istri, kecuali talak ditinggal mati, iddahnya adalah iddah talak, baik hal itu terjadi melalui khulu’, li’an, fasakh karena adanya cacat, maupun fasakh akibat persaudaraan sesusuan atau perbedaan agama.
Betapapun para ulama mazhab sepakat atas wajibnya iddah bagi wanita yang di talak sesudah di campuri oleh suaminya, dan bahwasanya iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu dari ketiga macam iddah dibawah ini, yaitu:
1. Bagi wanita yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka wanita itu harus menjalani iddahnya sehingga ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Hal ini berdasarkan firman Allah (Q.S Ath-Thalaq:4) yang berbunyi:
                              
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Ulama mazhab sepakat apabila seorang wanita mengandung labih dari satu orang bayi maka ia baru dikatakan keluar iddahnya apabila semua bayi yang dikandungnya itu telah lahir. Namun mereka berbeda pendapat apabila wanita itu keguguran, yakni bayi yang lahir itu belum sempurna. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan wanita itu belum dianggap selesai masa iddahnya sebelum keluar janinnya secara keseluruhan. Imam Malik mengatakan wanita itu dianggap telah selesai iddahnya meskipun yang keluar itu sepotong dari janinnya.
2. Bagi wanita yang baligh tapi belum pernah mengalami haidh sama sekali dan wanita yang menopouse, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq:4
                              
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
3. Bagi wanita yang telah berusia sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopause dan sudah mengalami haidh, maka iddahnya adalah tiga quru’, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah: 228
    
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai pengertian quru’. Imam Maliki dan Syafi’i menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (dalam keadaan tidak haid) yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci (sedang tidak haidh) maka iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian di sempurnakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi dan Hanbali menginterpretasikan quru’ itu dengan masa haidh, yang apabila seorang wanita di cerai suaminya dalam keadaan suci, maka iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia di ceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani iddahnya tiga kali haidh penuh.

b. Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
Para jumhur ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan dia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu masih anak-anak ataupun sudah dewasa, baik dalam usia monepouse maupun tidak, sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini berdasarkan firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 234
                           
Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Iddah yang demikian itu apabila wanita itu terbukti betul-betul tidak hamil. Maka akan imbul pertanyaan bagaimana kalau wanita yang tinggal mati oleh suaminya itu terbukti hamil? Maka jumhur ulama sepakat, mereka mengatakan bahwa iddah untuk wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya adalah sampai di melahirkan bayinya, sekalipun masa kehamilannya telah mencapai delapan bulan, maka iddahnya berakhir apabila bayinya lahir dan ia sudah boleh menikah.

4. Problematika Quru’
Ada dua pendapat mengenai arti quru’ ini, pendapat pertama quru’ itu suci, sedangkan pendapat yang kedua quru’ itu haid, sucu itu adalah masa diantara dia haid, sedang haid adalah masa diantara dua suci.
Perbedaan dalam penafsiran kalimat (kata) quru’ itu menyebabkan adanya perbedaan kehalalan suami ruju’ mantan bekas istrinya, sebab perbedaan penafsiran ini dapat memanjang pendekkan masa iddah walaupun relatif tidak terlalu lama.
Dalam surah al-Baqarah: 228, ada kata quru’ adalah kata yang musytarak, artinya sedikitnya mengandung dua pengertian yang sama kuatnya, Imam syafi’i, Imam Malik, Umar r.a dan Zaid bin Tsabit berpendapat quru’ itu suci, sedangkan Imam Abu Hanifah, Ali r.a berpendapat kalau quru’ itu haid.
Bagi mereka yang berpendapat bahwa quru’ itu suci, batas akhir kehalalan suami untuk meruju’ istrinya adalah pada akhir suci ketiga, bila ia telah memasuki haid yang ketiga, suami tidak dapat lagi merujuk istrinya dan dia halal bagi laki-laki lain. Dan mereka yang berpendapat quru’ itu suci beranggapan bahwa quru’ berasal dari mufrad (singuler/satuan) qur’un yang berarti at-thuhru artinya suci. Sedangkan qur’un yang berarti haid, jamaknya adalah aqraa artinya haid, seperti bunyi hadits:


Artinya: “cegahlah (tinggalkanlah)shalat pada waktu haidmu, dan tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu.”
Arti kata aqraa dalam hadits tersebut adalah haid, oleh karena itu, tidak dapat dipakai quru’ sebab quru’ berarti suci. Perlu dingat bahwa thalak yang disepakati adalah thalak sunny, (di antaranya) thalak yang dijatuhkan pada masa suci. Dan kita disarankan ketika menjauhkan thalak, harus yang dapat memendekkan iddah wanita, dan itu hanya mungkin dijatuhkan pada masa suci.
Bagi yang berpendapat bahwa quru’ itu haid kebolehan suami ruju’ berakhir saat habisnya masa haid yang ketiga. Apabila masa haid yang ketiga itu lewat, artinya si istri memasuki masa suci, istri halal bagi laki-laki lain.

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri Selama Iddah
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang beriddah dari talak raj’i wajib memperoleh nafkah dan tempat tinggal, dan istri juga wajib menjalani iddahnya di rumah suaminya, begitu juga dengan wanita yang hamil dan suami berkewajiban memenuhinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq:6
                                    
Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Jika seorang istri itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka istri tersebut wajib berkabung atas kematian suaminya dengan meninggalkan pemakaian perhiasan dan wangi-wangian, istri juga wajib tinggal di rumah suaminya, artinya dia wajib menghabiskan masa iddahnya dirumah suaminya, dia tidak boleh keluar rumah dengan berlebihan, kecuali ada keperluan.
Namun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang kena thalak ba’in. istru yang di thalak ba’in apabila seorang istri itu hamil maka suami yang wajib menyediakan tempat tinggal dan nafkah untuknya. Namun apabila seorang istri yang di thalak ba’in itu tidak hamil, menurut Imam Hanafi ia juga berhak mendapat nafkah dari suaminya. Tetapi menurut Imam Hanbali tidak wajib baginya nafkah. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi’i wajib untuknya tempat tinggal, namun tidak wajib untuknya nafkah.

6. Batas Minimal Iddah
Apabila seorang istri mengalamai haidh, lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka Imam Malik dan Hanbali mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh, sedangkan Syafi’i mengatakan bahwa wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga dia mengalami haidh, atau memasuki usia menopouse dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan
Sedang imam Hanafi mengatakan apabila seorang wanita mengalami satu kali haidh lalu karena sakit atau menyususi haidhnya terputus sama sekali dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh, maka wanita tersebut tidak dinyatakan keluar iddahnya sampai kelak ia memasuki masa menopouse. Dengan demikian menurut Imam Hanafi dan Syafi’i masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
Apabila seorang istri di thalak suaminya dalam keadaan hamil, namun suaminya meninggal sebelum masa iddahnya habis maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan walaupun masa hamilnya sudah mencapai 8 bulan, atau bahkan kehamilannya hampir lahir. Maka hal ini adalah masa iddah yang paling singkat.

7. Hikmah Iddah
Dapat disimpulkan bahwa pengertian iddah adalah terkandung beberapa hikmah yang merupakan salah satu keteraturan hidup, yang antara lain adalah:
1. Penegasan, apakah dalam rahim wanita itu telah terkandung benih janin atau tidak.
2. Memberi kesempatan kepada suami apakah suami mau merujuk istri kembali setelah ia menceraikan atau tidak
3. Dengan iddah juga akan semakin tampak jelas betapa besarnya belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya, karena dengan iddah orang akan memahami betapa nikmatnya berkeluarga dan betapa malangnya perceraian sehingga Allah membenci perbuatan itu.
4. Hikmah yang lain adalah bila iddah itu untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka diwaktu itu ia lebih nampak berkabung, sehingga semakin terasa penghormatannya terhadap suami.
5. Membuat kesempatan pada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula
6. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpun orang-orang ‘arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berfikir panjang.
7. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.

Dalam pedoman perkawinan disebutkan bahwa hikmah iddah ialah:
1. Iddah adalah masa berfikir untuk kebali lagi atau berpisah
2. Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali
3. Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah
4. Masa peralihan untuk menentukan hidup baru
5. Sebagai waktu bergabung bila suaminya meninggal
6. Masa untuk menentukan kosong atau tidaknya istri dari suami.



C. Kesimpulan
Iddah merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menjaga kehormatan wanita, karena dengan iddah seorang wanita dapat dipastikan apakah dia hamil atau tidak, sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan juga sebagai berkabung apabila dia ditinggal mati oleh suaminya.
Pembagian Iddah itu ada dua macam, sedang iddah thalak di bagi lagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Iddah tiga bulan: yaitu kepada istri-istri yang dicarai dalam keadaan tidak haidh dan berada dalam usia menopouse.
2. Iddah tiga kali quru’, yaitu ada dua pendapat yang mengatakan quru’ itu adalah masa suci dan ada berpendapat yang mengatakan quru’ itu adalah masa haidh, ini merupakan iddah bagi istri-istri yang dicarai dalam keadaan suci maupun dalam keadaan haidh.
3. Iddah sampai melahirkan, yaitu kepada istri-istri yang cerai dalam keadaan hamil. Dan adapun iddah yang terjadi karena wafatnya suami yaitu masanya adalah empat bulan sepuluh hari, dimana pada masa iddah ini seorang istri wajib bekabung sebagai tanda penghormatan terhadap suaminya.

BAHAYA NARKOBA BAGI GENEREASI MUDA

Tidak dapat dipungkiri penyalahan narkoba diatas bumi ini kebanyakan para kawula muda. Hampir dapat dipastikan 80 % penggunas barang haram itu adalah mereka dari kalangan para pelajar dan mahasiswa baik dikota maupun didesa-desa.
A. Penyebab generasi muda menggunakan narkoba.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang menyalahgunakan narkoba, diantaranya:
1. Dasar agama tidak kuat
Pendidikan agama sangat dominan melindungi anak dari pengaruh luar menyalahgunakan narkoba. Karena ajaran islam, kristen, khatolik, hindu, budha, dan lain-lain, melarang ummatnya melakukan perbuatan yang merusak dirinya. Dasar agama yang pernah ditanamkan sejak ke cil akan menjadi perisai bagi dirinya untuk hal-hasl yang merusak akhlak. Akan tetapi anak-anak yang tidak pernah mendapatkan perndidikan agama sangat rawan melakukan tindak kriminal seperti pecandu narkoba, minum-minuman keras dan lain-lainnya.
2. Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak sangat jarang
Didalam keluarga antara ibu bapak dan anak selalulah dijalin komunikasi yang berkesinambungan, jangan sampai terputus, tidak boleh ada kefakuman komunikasi antara mereka.
Bila hal ini terjadi maka sianak akan mencari jalan keluar untuk menyenangkan dirinya. Mencari teman yang dapat berkomunikasi membuat dirinya senang. Nah disinilah awal dari malapetaka itu. Ketika kemudian datanglah temannya bergabung untuk menghilangkan rasa suntuk yang dialaminya dirumah yang menurutnya tidak menyenangkan.
Bila sianak pulang dari ekolah tidak seperti sebagai biasanya atau pulang larut malam wajib diselidiki kenapa ia pulang terlambat. Sekali didiamkan percaya akan berulang kali dilakukan. Kesempatan beginilah yang menjadi akibat seeorang itu terpengaruh oleh teman-temannya yang lagi konyol/tidak terkontrol. Setelah anak berlaku berbeda daripada kebiasaan barulah orangtua sadar bahwa anaknya sudah korban dari kekejaman dari efek narkoba, apa mau dikata sesal kemudian tiada gunanya.
3. Pengaruh dilingkungan sekolah dan kampus.
Zaman sekarang sekolah atau perguruan tinggi bukanlah semat-mata menimba ilmu pengetahuan, tetapi lahan subur pengedaran gelap dan penyalahgunaan narkoba, oleh para siswa/i juga mahasiswa. Pada mulanya institusi ini tempat meningkatkan kecerdasan intelegensi guna menempa sumber daya manusia, akhirnya tercemamr oleh kepentingan sesaat jangka pendek orang-orang jahil yang mengeruk keuntungan.
Menurut analisa sementara ada penyebab kemungkinan maraknya penyalahgunaan narkoba dikalangan muda khususnya para mahasiswa, sseperti karena mode gaul, bisnis narkoba yang menjajikan keunntungan yang sangat besar bagi para pelakunya, kemudian adanya skenario besar untuk menghancurkan calon pemimpin bangsa dimasa depan.
4. Pengaruh lingkungan
Peranan lingkungan sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa pribadi seseorang. Bila masyarakat dilingkungan itu berkepribadian santun, maka anak-anak tidak akan mudah terpengaruh dengan perbuatan tercela.
Akan tetapi sebaliknya juga bila lingkuungan masyarakat itu bersifat apatis, egois dan tidak mau tahu dengan keadaan lingkungan yang tidak kondusif dan tidak pula komunikatif. Maka hal yang beginilah jaringan para Bandar Narkoba itu dengan menjalankan aksi bisnis barang haramnya.
Sangat banyak faktor penyebab orang masuk perangkap narkoba, misalnya: karena putus sekolah, tersedianya tempat hiburan, industri pariwisata, lemahnya hukum, juga budaya import.
B. Bahaya yang timbul akibat pemakain narkoba.
Ada beberapa efek yang timbulkan oleh pecandu narkoba(heroin), antara lain:
• Dapat menekan kegiatan sistem saraf.
• Memperlambat pernapasan dan detak jantung.
• Memperbesar pembuluh darah.
• Mengecilkan bola mata.
• Adanya perasaan mual-mual dan muntah-muntah bagi korban pemula, bila over dosis dapat merengut nyawa.
• Bisa juga membuat organ-organ otak akan semakin melemah yang membuat sipemakai menjadi kurang waras.
C. Cara alternatif pemecahan bahaya narkoba.
Para pecandu tidak hanya menanggung derita pisik tapi lebih parah lagi ia menanggung mental dan perilaku menyimpang(kejiwaan). Maka ia oleh karenanya diberikan kepada pecandu narkoba pada prinsip dua tahapan, yaitu:
• Detoksifikasi adalah upaya yang utama dilakukan yakni menghilangkan atau membuang racun narkoba dari dalam tubuh korban dan juga pengobatan yang lain apabila terdapat komplikasi dalam tubuh korban.
• Rehabilitasi, apabila dalam tubuh korban sudah bersih dari racun narkoba dan tidak trdapat komplikasi, maka tahap kedua adalah taghap pemulihan mental spiritual serta jati diri, meskipun kedua tahapan ini telah dapat diatasi belum berarti bahwa masalah berarti sudah selesai atau korban sudah sembuh.
Untuk mengetahui korban pecandu pulih kesehatannya perlu diperiksa secara medis, bahwa tidak ada kelainan pada jantung, paru-paru, ginjal, lever, maka program selanjutnya adalah rehabilitas yang bertujuan mengembalikan kepribadiannya secara utuh, hidup wajar bersama keluarga dan lingkungan.

BAB III
PENUTUP
Pada umumnya yang sering terjerumus dengan hal ini adalah orang-orang yang berpergaulan bebas. Yang mengakibatkan para pecandu banyak yang over dosis bahkan dapat merenggut jiwa. Dan cara yang utama adalah untuk memperhatikan cara bergaul anak.

Rabu, 06 Juli 2011

PEMBINAAN AGAMA BAGI KEHIDUPAN REMAJA

A. Pendahuluan
Pembinaan agama bagi kehidupan remaja tidak lepas dari pembinaan kepribadian anak itu sendiri, karena kehidupan agama itu merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap atau perlakuan seseorang dalam kehidupan tidak lain merupakan cerminan/pantulan dari pada kepribadiannya yang tumbuh dan berkembang sejak ia lahir bahkan sejak ia berada dalam kandungan. Dimana semua pengalaman yang di alaminya itu memiliki pengaruh yang besar dalam pembinaan kepribadiaannya, bahkan para ahli jiwa mengemukakan bahwa “pribadi itu merupakan kumpulan pengalaman pada umur-umur pertumbuhan (dari umur nol sampai dengan masa remaja terakhir)”. Baik itu pengalaman yang melalui pendengaran, pengelihatan, bahkan perlakuan yang dialaminya sejak lahir.
Oleh karena itu, ketika kita membicarakan tentang pembinaan agama dalam kehidupan remaja perlu kita ingat bahwa mereka telah banyak memiliki pengalaman-pengalaman yang telah membawa kepribadian mereka masing-masing. Dapat kita bayangkan betapa besarnya keragaman sikap dan kelakuan itu, karena masing-masing mereka telah terbina dalam berbagai kondisi dan situasi keluarga, sekolah dan lingkungan yang berlawanan antara satu dengan yang lainnya.

B. Pembahasan
1. Ciri-Ciri Masa Remaja
Sebenarnya masa remaja itu tidaklah pasti kapan secara tegasnya dimulai dan kapan pula berakhirnya, semua itu tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Misalnya faktor perorangan (ada yang capat pertumbuhannya dan ada yang lambat), faktor sosial yang cepat memberikan kepercayaan dan penghargaan kepada mereka sehingga mereka segera diterima sebagai anggota masyarakat yang di dengar pendapatnya. Di samping itu ada juga faktor ekonomi, di dalam masyarakat miskin atau kurang mampu, anak-anaknya segera di beri tanggung jawab dan ikut mencari nafkah, sedangkan dalam masyarakat maju dan mampu biasanya anak-anak itu tidak di bebani dengan tugas mencari nafkah sehingga dengan adanya tugas yang diberkan kepada mereka membuat mereka cepat berkembang dan tumbuh menjadi dewasa.
Banyak lagi faktor lain yang ikut menentukan masa remaja itu, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja itu kira-kira di mulai pada umur 12 atau 13, di mana pada masa remaja itu di sebut dengan masa pubertas, meskipun masih terlihat adanya tingkah laku atau sifat kekanak-kanakan, akan tetapi muncul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan bathiniah sendiri dan juga rasa akunya semakin kuat serta mencari pedoman hidup untuk bekal kehidupannya mendatang.
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu terkait, remaja itu terkenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangan secara anatomis, berarti alat-alat kelamin pada khususnya dan keadaan itu pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faali alat-alat kelamin tersebut sudah dapat berfungsi secara sempurna pula.
Pada umumnya permulaan remaja itu dapat di ketahui dengan mudah karena hampir bersamaan dengan anak-anak yang lain yaitu untuk anak laki-laki mengalami mimpi basah yang pertama kalinya sementara untuk anak perempuan mengalami menstruasi. Inilah awal dari masa remaja dan untuk kapan berakhirnya masa remaja tersebut agak sukar untuk menentukannya.
Masa remaja itu di bagi atas tiga tingkatan, yaitu: masa pra pubertas (pueral), masa remaja pertama, dan masa remaja kedua. Masa remaja pertama dimana pertumbuhan jasmani dan kecerdasan berjalan sangat cepat dan pada masa remaja yang kedua merupakan masa pertumbuhan/perubahan yang terakhir dalam pembinaan pribadi dan sosial.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa mereka yang akan menjadi sasaran dalam pembinaan agama dalam kehidupan remaja adalah mereka yang berada dalam masa remaja akhir, yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain:
1. Pertumbuhan remaja cepat telah selesai
Dalam arti kata mereka telah matang dalam segi jasmani yang fungsi jasmaniah telah dapat bekerja. Kekuatan/tenaga jasmani sudah dapat dikatakan dengan orang dewasa. Dari segi seks bisa dikatakan mereka telah mampu memberi keturunan, dimana seks tersebut berasal dari pertumbuhan jasmani dan dari luar alam (kelenjer) yang telah matang. Oleh karena itu dirongan tersebut sangat kuat maka perlu mendapat perhatian karena dorongan tersebut merupakan kebutuhan biologis yang menimbulkan kegoncangan emosi, selanjutnya yang akan membawa kepada bermacam-macam tidakan, kelakuan atau sikap yang menjurus kearah pemuasan dorongan tersebut.
Sikap dan tindakan tersebut berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, sesuai dengan kontruksi pribadi yang mereka lalui serta faktor lingkungan dimana mereka hidup. Pendidikan agama dan pengalaman dalam keluarga dan lingkungan yang dilalui pada masa-masa pertumbuhan sebelum itu, akan mewarnai sikap dan tindakan mereka, oleh karena itu berbagai usaha untuk menghadapi membina dan mengarahkan mereka kepada cara hidup yang baik sesuai dengan ajaran agama, tidaklah mudah kita harus melihat latar belakang kehidupan mereka.
2. Pertumbuhan kecerdasan hampir selesai.
Yang berarti telah mengalami kematangan kecerdasan, sehingga mereka dapat memahami hal-hal yang abstrak serta mampu pula mengambil kesimpulan abstrak dari kenyataan yang dilihatnnya. Dari urusan agama mereka selalu menuntut penjelasan-penjelasan yang masuk akal setiap ketentuan hukum agama.
Oleh karena itulah banyak guru-guru agama meresa terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajarkan kepada para remaja yang merasa kurang puas terhadap penjelasan-penjelasan guru atau dosen-dosen agama tersebut.
3. Pertumbuhan pribadi belum selesai.
Meskipun dari segi jasmaniah mereka merasa telah hidup matang dan dari segi kecerdasan mereka sudah merasa mampu berfikir efektif dan dapat mengambil keputusan yang abstrak dari kenyataan yang ada, akan tetapi mereka belum mampu untuk berdiri sendiri, belum sanggup mencari nafkah untuk membiayai diri sendiri untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Pada masa ini perhatian jenis lain sangat diharapkan apabila dari teman-temannya dari jenis lain kerang menaruh perhatian maka ia akan meresa sedang dan cenderung akan menyendiri atau akan mencoba hal-hal yang menarik perhatian.
4. Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan.
Pada umur ini sangat terasa pentingnya pengakuan sosial bagi para remaja, mereka akan sangat sedih apa bila mereka diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat teman-temannya, perhatian dan minatnya terhadap kepentingan masyarakat sangat besar kesusahan dan penderitaan orang dalam masyarakat atau menyebabkan mereka meresa terpanggil untuk membantu atau memikirkannya.

5. Keadaan jiwa agama yang tidak stabil
Tidak jarang kita melihat remaja pada umur ini mengalami kegoncangan atau ketidak stabilan dalam beragama, misalnya mereka terkadang sangat tekun beribadah, tapi pada waktu lain enggan untuk melaksanakannya, bahkan mungkin menunjukkan sikap seolah-seolah mereka anti dengan agama.
Pada buku psikologi perkembangan oleh Abu Ahmadi dan Munawir Shaleh dituliskan bahwa, ada beberapa sifat yang pada umumnya dimiliki remaja, antara lain:
1. Menemukan pribadinya
2. Menentukan cita-citanya
3. Menggariskan jalan hidupnya
4. Bertanggung jawab
5. Menghimpun norma-norma sendiri

2. Problema Remaja
Seperti yang telah di kemukakan bahwa umur remaja adalah umur peralihan dari anak menjelang dewasa yang merupakan masa perkembangan terakhir bagi pembinaan kepribadian atau masa persiapan untuk memasuki umur dewasa. Problema yang dihadapinya tidak sedikit telah banyak penelitian yang dilakukan orang dalam mencari problama yang umum di hadapai oleh remaja, antara lain:
1. Masalah hari depan
Setiap remaja akan memikirkan hari depannya, ia ingin mendapat kepastian akan jadi apakan ia nanti setelah tamat, terutama bagi mereka yang duduk di bangku universitas atau mereka yang berada dalam kampus, tidak jarang kita mendengar kata-kata yang mempuyai makna kecemasan akan hari depan, misalnya: hari depan suram, buat apa belajar toh sama saja yang berizazah dan tidak berizazah sama-sama tidak dapat kerja, dan sebagainya.
Kecemasan akan hari depan yang kurang pasti itu telah membuatkan berbagai problema lain yang mungkin menambah suramnya masa depan remaja itu, misalnya semangat belajar menurun kemampuan berfikir berkurang, rasa tertekan timbul, bahkan dengan mudah dapat terpengaruh dengan hal-hal yang kurang baik, kenakalan bahkan penyalah gunaan narkoba. Dengan demikian, perhatian mereka dengan agama semakin berkurang bahkan tidak jarang terjadi keguncangan hebat terhadap kepercayaan kepada Tuhan.
2. Masalah hubungan dengan orang tua.
Hubugan dengan orang tua termasuk masalah yang dihadapi remaja dan dulu sampai sekarang seringnya terjadi pertentangan pendapat antara orang tua dan anak, anaknya yang remaja ataupun dewasa. Kadang-kadang hubungan yang kurang baik timbul karena remaja mengikuti arus dan mode. Seperti rambut gondrong, pakaian yang kurang sopan, tutur kata kepada orang tuan kurang baik, dan lain-lain.
Relasy (hubungan) antara orang tua dengan anak dipengaruhi dan di tekan pula oleh sikap orang tua itu terhadap pemuda/i (internal) dari keadaan eksternal (lahiriah) keluarga.
1) Berbagai sikap orang tua terhadap pemuda/i (relasi internal keluarga)
1. Sikap-sikap yang berhubugan dengan afeksi dan dominansi
a. Afeksi yang berlebihan akan mengakibatkan orang tua:
a) Over-possesive yaitu: sikap orang tua yang ingin menguasai anak-anaknya.
b) Over-indulgent yaitu: sikap orang tua yang sangat menjangkau dan menuruti kehendakan anak
b. Afeksi yang kurang akan mengakibatkan orang tua bersikap:
a) Acuh tak acuh kepada anak mereka.
b) Senang menggoda anak dengan mencemohkan atau mengejek anaknya dengan menonjolkan atau kelemahan anak.
c. Afeksi (kasih sayang) yang di dasari oleh rasa persahabatan yang sewajarnya antara orang tua dan anak.
2. Sikap orang tua yang berhubungan dengan ambisi dan minat
• Sikap orang tua yang mengutamakan sukses sosial
• Sikap yang mementingkan untuk keduniaan
• Sikap yang mementingkan suasana keagamaan
• Sikap yang mengutamakan nilai-nilai artistik, kesastraan dan sebagainya.
3. Sikap terhadap turut sertanya pemuda/i dalam kegiatan bersama-sama.
2) Sikap orang tua secara eksternal (lahiriah) dan keadaan struktur sosial mempengaruhi suasana keluarga yang tersedia.
Perbedaan struktual sosial dapat menyebabkan perbedaan dalam relasi orang tua dengan anak
a. Masyarakat industri modern, biasanya anak sering kurang melakukan relasi dengan ayahnya (mungkin juga dengan ibunya)
b. Masyarakat pertanian, mayarakat ini memiliki kelasi yang erat antara anak bahkan tetangga yang dekat.
c. Masyarakat yang mengenal pemisahan antara orang dewasa dan anak-anak relasi antara orang tua dan anak secara efektif sangat sedikit.
d. Kehidupan di rumah sewaan dari orang-orang kota besar. Disini terdapat suatu kehidupan yang terbuka dalam segala segi kehidupan.
3) Sikap-sikap dan tindakan orang tua yang di senangi atau tidak di senangi para remaja. Sikap yang di senangi para remaja terhadap orang tua yang memberi waktu yang banyak untuk bersama-sama mereka, dapat menahan keadaan mereka, sikap yang tidak di senangi remaja pada orang tua yaitu cerewet, tidak mau memahami keadaan-keadaan mereka, tidak memberi waktu untuk bersama dan sebagainya.

3. Masalah moral dan agama
Mengenai permasalahan ini, sangat jelas kita lihat tertutama di kota-kota besar, kemungkinan besar ini di pengaruhi oleh hubungan dengan kebudayaan asing yang semakin meningkat baik itu melalui film, bacaan, gambaran-gambaran dan hubungan langsung dengan orang asing (Tourist) yang datang dengan berbagai sikap dan kelakuan.
Kemerosotan moril biasanya di sertai dengan adanya sikap menjauh dari agama, nilai-nilai moral yang didasarkan kepada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan waktu dan tempat, keadaan nilai yang tidak bisa berubah-ubah adalah nilai-nilai agama, karena nilai agama itu absolut dan berlaku sepanjang zaman, tidak dipengaruhi oleh waktu, tempat dan keadaan.
Oleh karena itu orang-orang yang kuat keyakinan beragamanyalah yang mampu mempertahankan nilai agama yang absolut itu dalam kehidupannya sehari-hari dan tidak akan terpengaruh oleh arus kemerosotan moral yang terjadi dalam masyarakat.
Sebenarnya masih banyak lagi problem-problem yang sering di hadapi oleh remaja kita, baik itu ketika mereka berada di sekolah-sekolah atau universitas maupun pada di luar sekolah.
3. Membina Kehidupan Beragama Pada Remaja Kampus
Seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa yang mendapat sasaran dalam pembinaan agama adalah mereka yang berada dalam masa remaja terakhir yang biasanya mereka berada di campus-campus, yang mana mereka bukan anak-anak lagi yang bisa hanya dengan menasehati, di ajari saja dan bukan pula orang-orang dewasa yang bisa di lepas begitu saja untuk bertanggung jawab sendiri atas pembinaan pribadinya.
Tidaklah mudah menentukan cara atau metode yang tepat dan baik bagi mereka itu, namun sekedar pegangan disini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain:
1. Tunjukkan kepada mereka bahwa kita dapat memahami mereka
Seseorang yang ingin membina jiwa harus dapat memahami orang yang akan di binanya, seperti ciri-ciri, sifat dan problema yang sedang dihadapainya serta dapat mengetahui apa yang tengah mereka rasakan.
2. Pembinaan secara konsultasi
Seharusnya setiap pembina kehidupan beragama itu menyadari bahwa yang dibina itu adalah jiwa yang bersifat abstrak tidak dapat dipegang atau di ketahui secara langsung, oleh karena itu hendaklah pembina tersebut terbuka untuk manampung atau mendengar ungkapan-ungkapan perasaan yang di alami oleh masing-masing mereka.
Dengan demikian, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah kemampuan untuk mendengar secara baik dan aktif, inilah yang dinamakan seni mendengar, dengan tantangannya segala apa yang dirasakan oleh remaja tersebut maka akan terbukalah hati mereka sesudah itu untuk menerima saran atau alternatif-alternatif penyelesaian bagi problem tersebut.
3. Dekatkan agama pada hidup
Hukum dan ketentuan agama itu perlu mereka ketahui, yang lebih penting lagi yang menggerakan hati mereka untuk secara otomatis terdorong untuk memenuhi humum dan ketentuan agama. Jangan sampai pengertian dan pengetahuan mereka tentang agama hanya sekedar pengetahuan yang tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan mereka sehari-sehari.
Untuk itu diperlukan usaha pendekatan agama dengan segala ketentuan kepada kehidupan sehari-hari dengan jalan mencari hikmah dan menfaat setiap ketentuan agama itu. Jangan sampai mereka menyangka bahwa umum dan ketentuan agama merupakan perintah Tuhan yang terpaksa mereka patuhi tanpa merasakan manfaat dari kepatuahn itu.

C. Kesimpulan
Ada beberapa sifat yang pada umumnya dimiliki remaja, antara lain:
• Menemukan pribadinya
• Menentukan cita-citanya
• Menggariskan jalan hidupnya
• Bertanggung jawab
• Menghimpun norma-norma sendiri
Sasaran dalam pembinaan agama adalah mereka yang berada dalam masa remaja terakhir yang biasanya mereka berada di campus-campus, yang mana mereka bukan anak-anak lagi yang bisa hanya dengan menasehati, di ajari saja dan bukan pula orang-orang dewasa yang bisa di lepas begitu saja untuk bertanggung jawab sendiri atas pembinaan pribadiny
Sebagai kesimpulan dapat di katakan bahwa pembinaan kehidupan keagamaan remaja dalam kampus bukanlah suatu usaha yang dapat di lakukan dengan mudah dan sederhana, tapi perlu memahami dan menguasai berbagai ilmu alat sebagai bekal untuk membawa mereka kepada agama dan membawa agama pada kehidupan mereka sehari-hari.

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU LAINNYA

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU ISLAM LAINNYA

BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.

BAB II
PERMASALAHAN
Suatu kesalahan besar bagi orang yang menganggap ilmu tasawuf adalah ilmu yang tradisional ataupun ketinggalan jaman, ilmu yang tidak peduli terhadap kehidupan dunia dan ilmu yang hanya cocok bagi orang tertentu. Karena bagaimanapun ilmu tasawuf adalah suatu ilmu keislaman yang berkedudukan sebagai rumusan teoritis terhadap wahyu Al-Qur’an dan Al-hadist sebagaimana juga ilmu kalam, dan ilmu filsafat. Untuk itu bagaimana peranan dan hubungan ilmu tasawuf terhadap ilmu keislaman lainnya? Dan apakah ilmu keislaman lainnya juga relevan dengan ilmu tasawuf ? dan jika relevan bagaimana kontribusi yang diberikan ilmu tasawuf terhadap ilmu keislaman lainnya?.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam
Sebagai kelompok ilmu pemikiran, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan ilmu filsafat ini dalam kontalasi keilmuan islam yang berkedudukan sebafgai rumusan teoritis terhadap wahyu dan analisis terhadap pemikiran keislaman yang sudah ada sebelumnya.
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang kalam Tuhan yaitu merupakan akidah islam. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh kerohanian. Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara dan lain sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa allah mendengar dan melihatnya. Pertanyaan ini sulit terjawab bila hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dan sedangkan ilmu yang menyampaikan penghayatan sampai pada penanaman jiwa manusia adalah Ilmu Tasawuf.
Dalam hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spritual dalam pemahaman kalam. Dengan demikian, Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna Ilmu Tauhid jika di lihat dari sudut pandang bahwa Ilmu Tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari Ilmu Tauhid.
Ilmu Kalam juga berfungsi sebagai pengendali Ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan.
Selain itu, Ilmu Tasawuf juga berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan Kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa Ilmu Kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak dimbangi oleh kesadaran rohaniyah, Ilmu Kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberar dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi sebagai muatan rohaniyah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada., misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga Ilmu Tauhid dapat memberi kontribusi kepada Ilmu Tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna.

Maka kesimpulannya, bahwa dengan ilmu tasawuflah semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

B. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Ilmu Tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsfatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian Ilmu Tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur bahwa harus diketahui terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual musim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, diantaranya ialah Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina, dan Al- Ghozali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan, ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian ilmu tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah Qalb (hati). Istilah Qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun tidak berarti bahwa istilah Qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebahagian ahli Ilmu Tasawuf, An-Nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu tetap sehat terhadap tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

C. Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama
Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.

D. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari taharah (tata cara bersuci), kemudian berlanjut kepada persoalan-persoalan ke fiqih-an dan lainnya. Namun, Pembahasan fiqih tentang thaharah atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniyahnya. Padahal, thaharah akan lebih terasa bermakna jika disertai pemahaman rohaniyah.
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang palking tepat karena ilmu ini memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
      •       
Artinya: ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.


BAB IV
PENUTUP

Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.
Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.

















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rasihon, dan Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Hasibuan, Armyn, Ilmu Tasawuf, Padangsidimpuan: STAIN Press, ttp.
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt.

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN TASAWUF

BAB I
PENDAHULUAN

Tasawuf pada awal perbentukannya adalah aklahk atau keagamaan, sedangakan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber utamanya adalah sejarah dan ajaran islam sebab tasawuf ditimbah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tidak keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para ahli ilmu tasawuf pada umum nya membaga tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf filsafi, kedua tasawuf akhlaki, ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allh dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji.

BAB II
PEMBAHASAN

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN TASAWUF

A. AKHLAK

Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab ( ) bentuk jamak dari mufradnya khuluq ( ), yang berarti budi pekerti, sinonimnya etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin, “etos” yang berarti kebiasaan. Moral juga berasal dari bahasa latin juga, “mores” juga “kebiasaannya”.
Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya-u’lumuddin yaitu khuluq, perangai ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.
Dalam usaha menyingkap tabir/hijab yang membatasi diri denngan tuhan, oleh kaum Shufi/Tasawuf telah membuat suatu system yang dinamakan: Takaolli, Tahalli, dan Tajalli system mana dipakai dalam Riadhah/latihan-latihan dan mujahadah/berjuang untuk mensuci membersihkan diri dari segla sifat-sifat yang tercela dalam rangk mencapai “maqam” yang lebih tinggi, dengan kata memperbaiki akhlak. Dalam buku Kimyaus-Saadah Al-Gazali berkaata,”bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.
Dinding/hijab yang membatisi diri dengan Tuhan ialah hjawa nafsu kita sendiri. Dalam usaha menghilangkan hijab/dinding itu, kaum Shufi mengadakan latihan-latihan dari satu tingkat ketingkat yang lebih tinggi yang pada akhirnya dapat mempersatukan dirinya dengan Tuhan, firman

                         
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Maka untuk mencapai tujuan “Liqa” itu membutuhkan latiha-latihan dan perjuangn, perjuangan untuk mensuci bersihkan diri, perjungan mamperbaiki akhlak secara terus-menerus dan dalam menyembah Tuhan terus-menerus ssampai akhir hayat.
     
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).

B. Tasawuf

Ilmu Tasawuf ialah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu.
Tasawuf pada awal perbentukannya adalah aklahk atau keagamaan, sedangakan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber utamanya adalah sejarah dan ajaran islam sebab tasawuf ditimbah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tidak keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, dalam kitabnya Al-Luma, melihat bahwa dari Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan kepada Ilahi, ma’rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniyah mereka, yang mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis.
Secara umum, ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari ajaran islam, Al-Qur’an dan A-Sunnah serta peraktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohon ampunan kepada-Nya, sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.

C. HUBUNGAN NYA

Para ahli ilmu tasawuf pada umum nya membaga tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf filsafi, kedua tasawuf akhlaki, ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allh dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seserorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf berbeda dalam hal pandekatan yang digunakan. Pada taswuf filsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam taswuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang trdapat dalam kalngan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan -, manusia, manusia dengan tuhan dan lain sebagainya. Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapan nya terdiri dari takholli(mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli(menghiasi dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli(terbukanya dinding penghalang/ hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur ilahi tampak jelas paadanya. Sedangkan pada tasawof amali pendekatan yang digunakan adalh pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk torikot. Dengan mengmalkan tasawuf baik yang bersifat filsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berskhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara akhlak dengan tasawuf menurut uraian yang diberikan oleh Harun Nasution ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa Al- Quran dan Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran dan Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai- nilai serupa ini yang harus dimiliki seorang muslim, da ndimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah sangat meninjol, karna bertasawuf itu pada hakikat nya melakukan serngkaian ibadah seperti shalat, puasa, zakat dll, yang semuanya itu uantuk mendekatka diri kepada Allah . ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Ibadah dalam Islam erat kali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Quran dikaitkan dengan takwa, dan takwa itu secara otomatis melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangannya. Singkatnya setiaap orang yang bertakwa pasti baik akhlaknya. Harun Nasutioan berkata oarang shufilah, terutama yang pelaksanaan ibadah mya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah shufi disebut dengan al-takholluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, mensifati diri dengan sifat-sifat yamg dimiliki Allah.






DAFTAR PUSTAKA


Djatnika, Rachmat. Sistem Etika Islam, Jakarta; Pustaka Panjima, 1996.

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta Raja Wali Grafindo Persada, 2008.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya, Jakarta: PT Raja Grapindo Persad, 1997.

Zahri, Mustafa. kunci Memahami Ilmu Taswuf, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1973.

















































D
I
S
U
S
U
N
OLEH;
Nama Nim
Irpan
salmah

Jumat, 01 Juli 2011

Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam

A. PENDAHULUAN
P
endidikan di Indonesia telah berlangsung jauh-jauh hari sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Pendidikan di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno, oleh sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia bisa dibilang cukup panjang. Pada awalnya pendidikan di Indonesia muncul sejak zaman kuno, kemudian mulai berkembang saat agama hindu-budha masuk ke Indonesia. Masuknya agama hindhu ke Indonesia memberi dampak yang cuckup signifikan terhadap system pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi betapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Pendidikan terus berkembang terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat kerajaan, seperti di Sriwijaya yang berdiri sebuah universitas.
Pada abad ke-14 saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarab-india. Masuknya Islam mulai menggeser kedudukan agama Hindu, lebih lagi saat kerajaan majapahit runtuh dan digantikan kerajaan Demak. Masuknya islam membentuk budaya baru dalam masyarakat. Salah satunya adalah system pendidikan. Islam memberi warna baru dalam dunia pendidikan saat itu. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman. Dalam Hindu-Budha tempat itu dikenal dengan mandala, sedangkan dalam islam biasa disebut sebagai pesantren atau padepokan. Padepokan berasal dari kata petepan yang artinya tempat pendidikan, istilah itu sudah dikenal sejak zaman Hindu-Budha.
Pendidikan islam pada umumnya muncul dan berkembang karena pengaruh seorang tokoh agama, yang sering di sebut kiayi. Khusus di pulau jawa, tokoh agama itu disebut wali. Pada umumnya para wali mendirikan sebuah pesantren untuk mengajarkan agama islam.
Pendidikan Islam semakin berkembang sejalan dengan adanya ide-ide cemerlang dari para tokoh Islam itu sendiri dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Pada pembahasan kali ini, pemakalah akan mencoba mengkupas seputar lembaga dan sarana-sarana pendidikan islam.


B. PEMBAHASAN
1. Lembaga dan sarana-sarana Pendidikan Islam di Indonesia
1) Masjid dan Langgar
Mesjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali dalam satu minggu shalat Jum’at dan dua kali dalam satu tahun untuk shalat hari raya. Selain dari mesjid ada juga tempat ibadah yang disebut dengan langgar bentuknya lebih kecil dari mesjid dan hanya di gunakan untuk shalat lima waktu, bukan untuk shalat jum’at.
Selain dari fungsi utama mesjid dan langgar di fungsikan juga untuk tempat pendidikan di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian buat orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh kepada para jama’ah dalam bidang yang berkenaan dengan akqidah, ibdah dan akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membaca dengan baiksesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain dari itu anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.
Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang. Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah pelajar-pelajar diminta terlebih dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya, sehingga seolah-olah pelajar meselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya tentang maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik palajar belajar secara mandiri.
Adapun metode yang digunakan adalah metode bandongan atau sorogan. metode bandongan adalah metode dimana seorang guru membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah murid yang masing-masing memegang kitab yang serupa, mendengarkan dan mencatat keterangan yang diberikan gurunya berkenaan dengan bahasan yang ada dalam kitab tersebut pada lembaran kitab atau pada kertas catatan yang lain. Sedagkan metode sorogan merupakan metode dimana santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan gurunya, kemudian guru memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan pada jenjang berikutnya bagaimana menterjemahkan serta menafsirkannya
Di samping hal diatas, Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan dalam sistem pendidikan Islam di masjid, yaitu:
1. Tenaga pendidik, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta imbalan jasa, tidak ada spesifikasi khusus dalam keahlian mengajar, mendidik bukan pekerjaan utama, dan tidak diangkat oleh siapapun.
2. Mata pelajaran yang diajarkan terutama ilmu-ilmu yang bersumber kepada al-Qur'an dan al-Sunnah, namun dalam perkembangan berikutnya ada bidang kajian lain, seperti: tafsir, fikih, kalam, bahasa Arab, sastra maupun yang lainnya.
3. Siswa atau peserta didik, mereka adalah orang-orang yang ingin mempelajari Islam, tidak dibatasi oleh usia, dari segala kalangan dan tidak ada perbedaaan.
4. Sistem pengajaran yang dilakukan memakai sistem halaqah.
5. Metode pengajaran yang diterapkan memakai 2 metode, yakni metode bandongan dan metode sorogan
6. Waktu pendidikan, tidak ada waktu khusus dalam proses pendidikan di masjid, hanya biasanya banyak dilakukan di sore hari atau malam hari, karena waktu tersebut tidak mengganggu kegiiatan sehari-hari dan mereka mempunyai waktu yang cukup luang.

2) Meunasah, Rangkang dan Dayah
Secara etimologi meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berobah menjadi meunasah. Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an. Ismuha mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah yang ada di setiap desa atau kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat lima waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Jadi kalau disebut sesorang sebagai teungku meunasah, maka dia adalah orang yang mengajar mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik Abdullah, dalam Ismail Sunni, mengatakan bahwa sebelum suatu kampung dibangun, mereka (masyarakat Aceh) terlebih dahulu membangun meunasah sebagai tempat beribadah dan belajar, baru kemudian mendirikan perkempungan. Di samping sebagai tempai beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu tempat belajar tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi aanak-anak yang dapat di samakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi (Melayu), akhlak. Disetiap gampong di Aceh ada meunasah, sebagai tempat belajar bagi anak-anak.
Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang di bangun di sekitar mesjid. Sistem pendidikan di Rangkang ini sama dengan sistem pendidikan di pesantren, murid-murid duduk membentuk lingkaran dan si guru menerangkan pelajaran, berbentuk halakah, metode yang disampaikan di dunia pesantren di sebut namanya dengan sorogan dan wetonan.
Rangkang itu dalam bentuk rumah, tetapi lebih sederhana, memiliki satu lantai saja, di kanan kiri gang pemisah (blog) masing-masing untuk 1-3 murid, kadang-kadang rumah yang tidak dipakai lagi oleh rang shaleh diwakafkan untuk siswa. Rumah tersebut di serahkan kepada guru untuk dijadikan sebagai rangkang.
Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh. Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini tidaklah persis sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip denagn pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada cantriknya.Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Sedangkan surau di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era Hindu – Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas keagamaan. Menurut ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda.Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya memiliki latar belakang historis yang berbeda, namun mempunyai fungsi yang sama.
Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen, dan kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.
Pada masa kesultanan Aceh, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, yakni rangkang (junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat rangkang dan balee, sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja. Meskipun demikian di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai junior sampai universitas. Sebelum murid belajar di dayah, mereka harus sudah mampu membaca al Qur’an yang mereka pelajari di rumah atau di meunasah dari seorang teungku. Kepergian untuk menuntut ilmu agama di dayah sering disebut dengan meudagang. Metode mengajar di dayah pada dasarnya dengan oral, meudrah dan metode hafalan. Pada kelas yang lebih tinggi, metode diskusi dan debat (meudeubat) sangat dianjurkan dalam segala aktifitas proses belajar mengajar, dan ruang kelas hampir merupakan sebuah ruang seminar. Para teungku biasanya berfungsi sebagai moderator, yang kadang-kadang juga berperan sebagai pengambil keputusan.
Santri (aneuk dayah) biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukin/meudagang. Santri kalong merupakan bagian aneuk dayah yang tidak menetap dalam pondok, tetap pulang ke rumah masing-masing setelah belajar. Mereka biasanya berasal dari daerah sekitar dayah tersebut. Sementara santri meudagang adalah putra dan putri yang tinggal menetap dalam dayah dan biasanya berasal dari daerah jauh.
Pendidikan dayah terkesan sangat monoton dalam penyusunan kurikulum yang masih berorientasi kepada sistem lama. Artinya kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab abad pertengahan. Secara keseluruhan di bidang kurikulum ternyata tidak ada perubahan dan perkembangan, yang ada hanyalah pengulangan. Hal ini disebabkan pengaruh dari pendahulu yang begitu kuat sehingga tidak ada tokoh dayah yang berani untuk mengembangkan kurikulum yang representatif.
Sistem pendidikan yang dikembangkan di dayah atau rangkang tidak berbeda dengan apa yang dikembang di pesantren-pesantren di Jawa atau surau-surau di Sumatera Barat, yakni bisa ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
1. Ditinjau dari segi materi pelajarannya, yang diajarkan adalah mata pelajaran agama semata-mata yang bertitik tolak kepada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana (kitab jawoe/kitab arab melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, tingkatan suatu dayah dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab-kitab Islam klasik yang di ajarkan di dayah, yakni 1) nahwu dan saraf (morfologi), 2) fiqh, 3) Ushul fiqh, 4) Hadist, 5) Tafsir, 6) Tauhid, 7) tasawuf dan etika, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari kitab yang dipelajarinya.
2. Ditinjau dari segi metodenya adalah hafalan, meudrah dan muedeubat. Dalam tradisi pesantren di Jawa sering disebut sorogan dan wetonan.
3. Ditinjau dari segi sistem pembelajaran adalah non-klasikal. Yakni santri (aneuk dayah) tidak dibagi berdasarkan tingkatan kelas, tetapi berdasarkan kitab yang dipelajarinya.
4. Ditinjau dari segi manajemen pendidikan, maka di lembaga pendidikan ini tidak mengenal nomor induk pelajar, ada rapor, ada sertifikat dan lain sebagainya.
Kebiasaan orang Aceh, belajar di dayah, atau sering disebut meudagang, biasanya membutuhkan waktu yang tak terbatas. Artinya seorang murid datang dan meninggalkan dayah kapan ia suka. Beberapa aneuk dayah (santri) belajar di beberapa dayah, berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya, setelah belajar beberapa tahun. Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid tergantung pada ketekunannya atau pengakuan guru bahwa murid itu telah selesai dalam studinya. Kadang-kadang murid tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah sampai ia sanggup mendirikan dayahnya sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada penghargaan secara diploma. Karena itu, setelah belajar dan mendapat pengakuan dari teungku chik (pimpinan dayah) mereka terjun ke dunia masyarakat dan bekerja sebagai teungku di meunasah-meunasah , menjadi da’i atau imam-imam di mesjid-mesjid.
Adapun signifikasi lembaga daya itu adalah
1. Sebagai pusat belajar agama. (the central of religious learning)
2. Sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah.
3. Sebagai Agen Pembangunan.
4. Sebagai Sekolah Bagi Masyarakat

3) Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia, surau di artikan tempat (rumah) ummat islam melakukan ibadahnya (shalat, mengaji dan sebagainya), pengertian apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar mengaji anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang dewasa.
Di pandang dari sudut budaya keberadaan suarau sebagai perwujudan dari budaya Minagkabau yang matriachat. Anak-anak yang sudah akil baligh, tidak lagi layak tinggal dirumah orang tuanya, sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, dalah fungsinya sebagai tempat pertemuan par apemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka. Selain dari itu suarau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedng menempuh perjalanan, dengan demikian suarau mempunya multifungsi.
Sistem pendidikan disuaru banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat. Syekh atau guru mengajar dengan metode bendongan dan sorongan, ada juga murid yang berpindah kesurau lain dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau terdahulu.
Dari segi mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum masuknya ide-ide pembaruan pemikiran islam pada awal abad ke-20 adalah mata pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.
Surau sebagaimana layaknya pesantren juga memiliki kekhususan-kekhususan. Ada suarua yang kekhususannya dalam ilmu alat, seperti surau kamang, ada spesialis ilmu mantik, ma’ani, suarau kota godang, dalam ilmu tafisr dan faraid, surau sumantik, sedangkan suarau Talang spesialis dalam ilmu nahu.
Surau sebagai tempat praktik sufi atau tarekat bukanlah sesuatu yang aneh, sebab surau yang pertama yang dibangun di Minangkanau oleh Burhanuddin Ulakan adalah adalah untuk memperaktekkan ajaran tarekat di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya pengikut syekh Burhanuddin Ulakan.
Surau Ulakan sebagaimana yang di tuliskan Azumardi Azra, adalah merupakan pusat tarekat, murid-murid yang belajar di Surau Ulakan itu, membangun pulau surau di tempat-tempat lain yang mencontoh Surau Ulakan itu sendiri yang merupakan prototipe dari surau tarekat.
Dengan demikian surau memiliki fungsi ganda, dan yang utama di antaranya adalah fungsi pendidikan. Pendidikan yang ada di surau mirip dengan apa yang ada di pesantren. Inti pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama, yang pada tingkat-tingkat tertentu mendasarkannya kepada pengajian kitab-kitab klasik.
4) Pesantern
Sejarah Pesantren di Indonesia
Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Pesantren merupakan pendidikan islam tertua di Indonesia yang berfungsi sebagai pusat dakwah dan pengembangan agama islam. Kata pesantren berasal dari bahsa tamil yang berarti “guru mengaji” namun ada juga yang menyebut berasal dari bahsa sansekerta “shstri” yang berarti orang-orang yang mempelajari buku-buku suci atau orang yang melek huruf.
Ada dua dua pendapat mengenai asal-usul berdirinya pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren berasal dari tradisi tarekat. Penyiaran agama islam di indoensia pada walnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping itu juga diajarkan kitab-kitab berbagai cabang ilmu pengetahuan agama islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Kedua, pesantren yang ada saat ini merupakan akulturasi dari mandala atau patapan pada zaman Hindu-Budha. Anggapan ini muncul karena model pendidikan yang sama seperti pesantren telah ada sejak zaman Hindu-Budha. Zaman sebelum islam itu, sudah dikenal mandala, yaitu tempat suci berupa komplek pusat kegiatan keagamaan untuk wiku, pendeta, murid dan pengikutnya. Mereka hidup di dalam mandala dengan dipimpin oleh dewa guru. Konsep mandala ini dianggap sama dengan pesantren. Santri dan kaiayi hidup dalam satu tempat yang sama untu belajar agama islam, dan pimpinan tertinggi pesantren berada di tangan Kiayi. Anggapan ini diperkuat dengan tidak ditemukannya system pendidikan seperti pesantren di Negara-negara islam, tetapi sebaliknya, system seperti ini banyak ditemukan di Negara-negara penganut Hindu-Budha seperti India, Myanmar dan Thailand.
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pertama kali pesantren muncul sebagai pusat pendidikan agama islam di Indonesia. Agama islam mulia menyebar ke seluruh Indonesia pada abad ke-15, tetapi Islam diduga telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-8, tepatnya di daerah Perlak dekat selat Malaka. Namun, pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaannya dan berkembang pada abad ke-16. Pesantren yang dianggap sebagai pesantren pertama yang muncul di Indonesia adalah Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel. Dari pesantrennya ini lahirlah para wali yang menyebarkan agama islam di pulau jawa khususnya, yaitu sunan Giri, sunan bonang dan sunan drajat.

Prinsip Dan Unsur Pendidikan Pesantren
Walaupun setiap pesantren mempunyai ciri khas masing-masing namun ada lima prinsip dasar pendidikannya yang tetap sama, yaitu:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiyai
2. Santri taat dan patuh kepada Kiyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan.
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat
Pada umunya pesantren terdiri dari beberapa element atau unsure, yaitu:
1. Pondok
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan bimbingan yang matang kepada santri, untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kiayi.
2. Masjid
Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam. Masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan. Seorang kiyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .
3. Santri
Santri adalah siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama "barokah", adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu.
4. Kitab kuning
Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas "kekuning-kuningan".pada umunya isinya menyinggung masalah syaria’at atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.
5. Kiayi
kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri. Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian, kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.

Pola Pendidikan Pesantren
Pendidikan dan ajaran islam diberikan melalui pemberian contoh, perbuatan dan sauri teladan. Para guru yang juga kiayi berlaku sopan santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah percaya, welas asih, jujur adil, tepat janji serta menghormati adat istiadat dan orang lain. Pada awalnya pendidikan islam dilakukan di surau-surau, langgar masjid atau bahkan di serambi rumah sang guru. Disana murid-murid belajar mengaji. Waktu belajarnya biasanya pada waktu petang atau malam hari. Mereka duduk dilantai, melingkar menghadap sang guru dan belajar membaca Al-Qur’an. Tempat-tempat pendidikan islam seperti ini yang menjdi cikal-bakal pendidikan pesantren.
System pendidikan pesantren masih sama seperti system pendidikan di surau atau langgar masjid, hanya saja lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Pada awalnya tujuan pokok dari pesantren adalah agar anak-anak dapat membaca Al-Qur’an dan mengetahui pokok-pokok ajaran islam yang perlu dilaksanakan sehari-hari, seperti shalat, puasa, dan zakat, maka sekarang disamping memberi pokok ajaran itu juga diberikan ilmu dan alat untuk mempelajari agama Islam dari sumber yang asli yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Alat yang digunakan untuk mendalami itu adalah bahasa arab. Dengan menguasai bahasa arab orang akan dapat menggali ajaran-ajaran islam dari sumbernya, sehingga dapat mengembangkan agama islam dengan lebih baik.
Ada dua metode yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren, yaitu:
1. Metode Wetonan
Yaitu metode dimana Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen. Santri boleh datang dan tidak boleh datang, juga tidak ada ujian. Apakah santri itu memahami apa yang dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesantren itu adalah bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.
2. Metode Sorongan
Yaitu metode dimana santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat tampil di depan kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan, dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang dipegangnya.

Klasifikasi Pesantren
lasifikasi pesantren berdasarkan keputusan menteri agama No.3 tahun 1979 adalah :
1) Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan ponpes dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (dengan system weton atau sorongan)
2) Pesntren tipe B, yaitu dengan menyelanggarakan pelajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kiayi bersifat aplikasi diberikan pada waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan ponpes.
3) Pesantren tipe C, yaitu pesantren yang merupakan asrama sedangkan para santri belajar di luar, baik di madrasah maupun di sekolah umum. Kiayi hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut.
4) Pesantren tipa D, yaitu pesantren yang menyelenggarakan system ponpes seklaigus system sekolah atau madrasah. Dalam penyelenggaraannya pendidikan dan pengajaran bagi santrinya, pesantren dibagi menjadi dua, yaitu:
5) Tipe salafiyah, yaitu yang menyelanggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman, Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain yang metujuak pada kitab-kitab klasik (kitab kuning) dengan menggunakan cara-cara sebagaimana awal pertumbuhannya.
6) Tipe khalfiyah, yaitu pesantren disamping menyelanggarakan kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal.

5) Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
2. Latar Belakang Timbulnya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.

3. Madrasah di Indonesia
Tumbuh dan kembangnyaa madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan di kalangan ummat Islam. Dipermulaan abad ke-20 timbul beberapa perubahan bagi ummat Islam Indonesia dengan masuknya ide-ide pembaruan.
Di antara ulama yang berjasa dalam mengagas tumbuhnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdul Ahmad, pendiri madrasah Adabiyah di Padang pada tahun 1909. Pada tahun 1915 madrasah ini menjadi HIS Adabiyah yang tetap mengajarkan agama.
Di kalangan organisasi Islam pun giat pula melaksanakan pembaruan dalam bidang pendidikan, tercatat di antaranya yang termashur adalah Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912.
Sejak timbulnya madrasah dan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional yang diatur undang-undang.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa itu, merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran yang terdiri dari 10 pasal. Pada pasal 5 (b) sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, menetapkan bahwa “madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya juga mendapat perhatian dan bantuan materil dari pemerintah.
Dalam hal ini wewenang pembinaan dan pemberian bantuan dan tuntunan tersebut diserahkan kepada Kementerian Agama. Tujuan pembinaan dan bantuan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Usaha integrasi tersebut ternyata tidak berjalan mudah. Sikap mandiri dan sikap non-kompromi dengan pemerintah pada masa sebelumnya, masih tetap berakar dalam masyarakat. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan madrasah tersebut dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan dan dilaksanakan secara bertahap.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementerian agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. I tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya”.
Dengan persyaratan tersebut, maka diadakanlah pendaftaran madrasah-madrasah yang memenuhi syarat. Pada tahun 1954 tampak madrasah yang memenuhi persyaratan untuk seluruh Indonesia berjumlah 13.849 buah sebagaimana dikemukakan dalam tabel di bawah ini.
Tingkat Madrasah Jumlah Madrasah Jumlah Murid
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah 13.057
776
16 1.927.777
87.932
1.881
Jumlah 13.849 2.017.590
Data tersebut diambil dari Mahmud Yunus.
Dalam upaya pemerintah untuk menyediakan guru-guru agama untuk sekolah dan guru-guru umum serta lembaga pendidikan lainnya pada tahun 1951 Kementerian Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI) di beberapa tempat. Berdirinya kedua jenis sekolah guru tersebut banyak manfaatnya bagi perkembangan dan pembinaan madrasah, karena kedua jenis sekolah guru ini, memberikan kesempatan bagi para alumni madrasah dengan persyaratan tertentu untuk memasukinya. Hal tersebut telah mendorong penyelenggaraan madrasah untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah. Pada alumni kedua jenis sekolah guru agama tersebut, diperbantukan pada madrasah-madrasah guna mempercepat proses pembinaan dan perkembangannya, menuju kepada pengintegrasian ke dalam sistem pendidikan nasional.
Kedua jenis sekolah guru itu, kemudian namanya diubah menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama). PGA menyediakan calon guru agama untuk sekolah dasar dan madrasah tingkat Ibtidaiyah, sedangkan SGHA menyediakan calon-calon guru agama untuk tingkat sekolah menengah baik sekolah agama maupun sekolah umum, dan hakim pada Pengadilan Agama. Pada tahun 1957 SGHA disebut sebagai PGA dan untuk keperluan tenaga pendidikan hakim agama didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Negeri). Pada masa itu banyak madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah berubah menjadi PGA. Dengan demikian, di samping PGA pertama (4 tahun), 9 buah PGA atas (2 tahun) dan 1 buah PHIN (3 tahun).
Upaya pembinaan madrasah, menuju kesatuan sistem pendidikan nasional, semakin ditingkatkan. Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama saja, tetapi merupakan tugas dan wewenang pemerintah secara keseluruhan bersama masyarakat.
Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Dalam rangka merealisasikan SKB 3 menteri tersebut, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah.
Hasil dari peningkatan civil efect ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, hakekat dari SKB tiga mentri adalah:
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah lebih umum setingkat.
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas.
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan madrasah tetap dilaksanakan semenjak munculnya istilah madrasah sampai lahirnya SKB 3 Menteri, di mana madrasah dipersamakan dengan sekolah umum, yang dalam hal ini adalah sekolah negeri umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sederajat. Dan demikian jelasnya bahwa pemerintah tetap memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia.
Adapun sarana yang ada dimadrasah sama halnya dengan di pesantren hanya perbedaannya, jika di PONPES ada pondok/asrama sebagai tempat tinggal, kiayi dan kitab-kitab kuning/klasik sedangkan di madrasah tidak ada, dan dimadrasah sistem pembelajarannya di kelas. Maka diperlukan adanya fasilitas ruangan, seperti meja, kursi, papan tulis dan lain-lain.
Adapun struktur program kurikulum madrasah Aliyah tahun 1984, pendidikan agama terdiri dari mata pelajaran:
1. Qur’an Hadits
2. Akidah Akhlak
3. Fikih
4. Sejarah dan Peradaban Islam
5. Bahasa arab, semua program ini di golongkan kepada program inti.


6) Sekolah-Sekolah Dinas
Setelah indonesia merdeka, ditetapkan departemen yang membidangi dan mengurus masalah agama adalah departemen agama. Departemen agama berdiri sejak tanggal 3 Januari 1946, dengan Mentri Agamanya yang pertama M. Rasyidi, BA. Dari sekian banyak tugas Departemen ini, salah diantaranya ada bidang pendidikan.
Dengan ditanda tanganinya SKB 3 Mentri yang berisikan tentang peraturan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang berlaku mulai 1 Januari 1947.
Pada surat keputusan bersama ini dijelaskan:
1. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh Mentri Agama, atas instansi agama yang bersangkutan
2. Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan Kementirian Agama.
Berdasarkan SKB tersebut, maka Kementrian Agama berkewajiban untuk mengangkat dan mengadakan guru agama, dalam hal mengadakan guru agama menjadi persoalan bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk mengajar agama disekolah-sekolah.
Pada Tanggal 15 Agustus 1950 Kepala Bagian Pendidikan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 277/C/C-9 yang berdasarkan anjuran pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian, yaitu 5 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat, atau Madrasah Rendah dan 2 tahun setamat SMP atau Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan dibuka SGHAI (Sekolah Guru Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4 tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan Penetapan Mentri Agama No. 7 Tgl. 15 Februari 1951 seluruh SGAI di ubah namanya menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun Sesudah Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah dan SGHAI di ubah menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) yang pelajarannya 4 tahun setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah.
Berdasarkan penetapan Mentri Agama No. 35 Tgl. 21 November 1953 terhitung mulai tahun ajaran 1953/1954 lama belajar di PGA menjadi 6 tahun dan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2 tahun.
Penetapan Menteri Agama No. 14 Tgl. 19 Mei 1954 SGHA terdiri dari 4 bagian. Bagian A (sastra), B (Ilmu Pasti), C (Ilmu Agama), D (Hukum Agama) berangsur di hapuskan kecuali bagian D kemudian dijadikan PHIN (Pendidikan Hukum Islam Negeri) yang lama belajarnya 3 tahun setelah PGAP.
PHIN yang sejak berdirinya hanya ada satu buah di Yogyakarta sedangkan PGA berkembang, baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.
Sekolah Dinas maksudnya adalah setelah lulus dari sekolah tersebut di angkat menjadi pegawai negeri dan karena itu murid-murid di kedua sekolah ini harus berikatan dinas sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 1951. Karena kekurangan anggaran negara sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan dinas.

7) Perguruan Tinggi Islam
Ada beberapa lembaga dari perguruan tinggi islam, yaitu:
1. Pendidikan Tinggi Islam
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi yang pertama di Sumatera Barat bahkan di Indonesia. Tetapi, ketika Jepang masuk ke Sumatera Barat pada tahun 1941, pendidikan tinggi ditutup sebab Jepang hanya mengizinkan di buka tingkat dasar dan menengah.
Pendidikan ini di buka dari dua fakultas, yaitu:
1. Fakultas Syari’ah (Agama)
2. Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab
Untuk lebih meningkatkan efektivitas keluasan jangkauan maka muncullah untuk mengubah menjadi univesitas. Dan kemudian menjadian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi.
Dalam perkembangan berikutnya fakultas agama UII ini di negerikan, sehingga ia terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)

2. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH. Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran agama didampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.

3. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan di tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No. K/651 tanggal 20 Januari 1951(Agama) dan No. 143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta. Berkenaan dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
Lama belajar di ADIA 5 tahun yang dibagi kepada 2 tingkatan, tingkatan semi akedemik belajar 3 tahun, sedangkan tingkatan akademik lama bnelajarnya 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri dari 2 jurusan, yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan sastra Arab.
Syarat untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA, atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak lebih dari 30 tahun.

4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi di maksud telah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja. Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya penggabungan dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA , berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari agama mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.
Beberapa pasal dari ketetapan Mentri Agama No. 43 tahun 1960 Peraturan Menteri Agama No. 15 tahun 1961 dapat di kemukakan sebagai berikut:
1. IAIN “Al-Jami’ah” ini teridiri dari:
a. Fakultas Ushuluddin yang mempunyai 4 jurusan
1.) Dakwah
2.) Tasawuf
3.) Filsafat
4.) Perbandingan Agama
b. Fakultas syari’ah mempunyai 3 jurusan
1.) Tafsir/Hadits
2.) Fikih
3.) Qasdha
c. Fakultas Tarbiyah terdiri dari 8 jurusan
1.) Pendidikan Agama
2.) Paedagogis
3.) Bahasa Indonesia
4.) Bahasa Inggris
5.) Bahasa Arab
6.) Khusus (imam tentara)
7.) Etnologi dan Sosiologi
8.) Hukum dan Ekonomi
d. Fakultas Adab, yang mempunyai 4 jurusan
1.) Sastra Arab
2.) Sastra Weda
3.) Sastra Pesia
4.) Sejarah Kebudayaan Islam
2. Tentang pengajaran
3. Mereka yang lulus ujian bakalaureat dengan baakalarius/sarjana muda, dan berhak memakai titel BA (Bachelar of Arts). Sedangkan yang lulusan doktoral memperoleh sebutan Doktorandus/sarjana
IAIN Al-Jami’ah diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Rabiul Awal tahun 1380 H. Dalam perkembangan berikutnya IAIN Sunan Kali Jaga yogyakarta berkembang menjadi 16 fakultas yang tersebar di beberapa tempat seperti Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang, Banda Aceh, Jambi, Padang. Perkembangan fakultas agama di beberapa daerah merupakan realisasi ketatapan MPRS tanggal 3 Des. 1960 No. 11/MPRS/1960 tentang garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana.

5. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang berdiri sendiri. Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia.
IAIN yang berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka cabang pula di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN induknya masing-masing. Setelah dipisahkan itu bernamalah lembaga ini menjadi STAIN. Yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN dengan STAIN adalah. Jika Institut menyelenggarakan program akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis. Sedangkan sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.

6. Universitas Islam Negeri
Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan IAIN menjadi Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan. Perubahan tersebut tidak begitu sulit selama pihak berwenang setuju. Ada beberapa modal dasar yang dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi pengembangannya.
1.) Landasan filosofis dan konstitusional
2.) Sosiologis
3.) Edukatif
Dasar pemikiran yang paling penting tentang pembukaan IAIN ke UIN itu adalah:
1.) Integrasi antara bidang ilmu agama dengan bidang ilmu umum sehingga kedua ilmu itu menjadi menyatu sehingga tidak menjadi dikhonomi
2.) Berobahnya Madrasah sebagai sekolah yang berci khas agama Islam, sehingga tamatan Madrasah Aliyah lebih dipersiapkan untuk memasuki universitas madrasah di ajarkan ilmu-ilmu yang sama dengan apa yang di ajarkan di sekolah.
3.) Alumni UIN lebih terbuka kesempatan untuk mobilitas vertikal ketimbang alumni IAIN dan lebih beragam lapangan kerja yang bisa dimasuki mereka.

7. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN, fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan) tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di Indonesia, ada yang di asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Universitas-Universitas Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) pada wilayah setempat.
Untuk menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta tersebut pendidikan agama Islam pada fakultas nonkeagamaan tidak hanya terbatas di beri 2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas negeri. Di universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang bervariasi di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.
Permasalahan pokok yang belum bisa di tuntaskan oleh universitas-universitas Islam Swasta adalah inti dari permasalahannya bagaimana memasukkan nilai-nilai Islam kedalam disiplin ilmu sekuler. Praktik yang dilakukan sekarang diberbagai Universitas Islam tersebut masih tampak pilahnya antara ilmu keagamaan dengan ilmu non keagamaan. Sebetulnya idealitasnya adalah menyatukan kedua rumpun ilmu itu dalam satu kesatuan. Untuk lebih memperdalam hal ini dapat kita cari informasi nya di buku “Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Islam di Indonesia” karangan Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA.

8) Pendidikan Islam Non-Formal
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 telah memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal tersebut, satuan pendidikan non formal tersebut terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenisnya.
Di Indonesia, jauh sebelumnya adanya pendidikan Islam formal di pesantren, sekolah, madrasah dan pendidikan tinggi, telah berlangsung pendidikan non formal. Para Mubaligh berdatangan dari luar Indonesia melakukan pendidikan secara non formal. Mesjid atau tempat-tempat lain merupakan pusat kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan nonformal ini ditunjukkan kepada masyarakat ramai, sedangkan untuk mendidika murid-murid mereka, mereka lakukan dengan cara khusus.
Selain dari kegiatan pendidikan formal tersebut di kalangan masyarakat terdapat pula pendidikan agama nonformal. Pendidikan agama nonformal ini di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan majelis taklim.
Kegiatan majlis taklim ini adalah bergerak dalam bidang dakwah Islam, lazimnya disampaikan dalam bentuk ceramah, tanya jawab oleh seorang ustadz atau kiai di hadapan para jamaahnya. Kegiatan ini telah dijaadwalkan waktu dab ditentukan tempatnya.
Ada beberapa esensi dari majlis taklim ini, yaitu:
1.) Lembaga pendidikan Islam nonformal
2.) Pendidik
3.) Peserta didik (jama’ah)
4.) Adanya materi yang disampaikan
5.) Dilaksanakan secara teratur
6.) Tujuan untuk mencapai derajat ketakwaan kepada Allah SWT.
Di pandang dari sudut teori pendidikan, bahwa majlis Taklim adaldah salah satu di antara pusat pendidikan di samping rumah tangga dan sekolah. Ki Hajar Dewantara menyebutkan ada tiga pusat pendidikan (tri pusat) pendidikan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Majlis Taklim ini tergolong pada pendidikan Islam di Masyarakat.
Selain dari Majlis Taklim di kalangan remaja muncul pula lembaga pendidikan nonformal dalam bentuk pesantren kilat. Kegiatan berlangsung satu atau dua minggu, yang lebih tepat dikelompokkan pada pelatihan.
Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, bisa dalam bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang terbanyak tersebar di masyarakat adalah Majlis Taklim.