Rabu, 06 Juli 2011

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU LAINNYA

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU ISLAM LAINNYA

BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.

BAB II
PERMASALAHAN
Suatu kesalahan besar bagi orang yang menganggap ilmu tasawuf adalah ilmu yang tradisional ataupun ketinggalan jaman, ilmu yang tidak peduli terhadap kehidupan dunia dan ilmu yang hanya cocok bagi orang tertentu. Karena bagaimanapun ilmu tasawuf adalah suatu ilmu keislaman yang berkedudukan sebagai rumusan teoritis terhadap wahyu Al-Qur’an dan Al-hadist sebagaimana juga ilmu kalam, dan ilmu filsafat. Untuk itu bagaimana peranan dan hubungan ilmu tasawuf terhadap ilmu keislaman lainnya? Dan apakah ilmu keislaman lainnya juga relevan dengan ilmu tasawuf ? dan jika relevan bagaimana kontribusi yang diberikan ilmu tasawuf terhadap ilmu keislaman lainnya?.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam
Sebagai kelompok ilmu pemikiran, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan ilmu filsafat ini dalam kontalasi keilmuan islam yang berkedudukan sebafgai rumusan teoritis terhadap wahyu dan analisis terhadap pemikiran keislaman yang sudah ada sebelumnya.
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang kalam Tuhan yaitu merupakan akidah islam. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh kerohanian. Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara dan lain sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa allah mendengar dan melihatnya. Pertanyaan ini sulit terjawab bila hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dan sedangkan ilmu yang menyampaikan penghayatan sampai pada penanaman jiwa manusia adalah Ilmu Tasawuf.
Dalam hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spritual dalam pemahaman kalam. Dengan demikian, Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna Ilmu Tauhid jika di lihat dari sudut pandang bahwa Ilmu Tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari Ilmu Tauhid.
Ilmu Kalam juga berfungsi sebagai pengendali Ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan.
Selain itu, Ilmu Tasawuf juga berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan Kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa Ilmu Kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak dimbangi oleh kesadaran rohaniyah, Ilmu Kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberar dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi sebagai muatan rohaniyah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada., misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga Ilmu Tauhid dapat memberi kontribusi kepada Ilmu Tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna.

Maka kesimpulannya, bahwa dengan ilmu tasawuflah semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

B. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Ilmu Tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsfatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian Ilmu Tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur bahwa harus diketahui terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual musim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, diantaranya ialah Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina, dan Al- Ghozali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan, ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian ilmu tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah Qalb (hati). Istilah Qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun tidak berarti bahwa istilah Qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebahagian ahli Ilmu Tasawuf, An-Nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu tetap sehat terhadap tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

C. Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama
Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.

D. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari taharah (tata cara bersuci), kemudian berlanjut kepada persoalan-persoalan ke fiqih-an dan lainnya. Namun, Pembahasan fiqih tentang thaharah atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniyahnya. Padahal, thaharah akan lebih terasa bermakna jika disertai pemahaman rohaniyah.
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang palking tepat karena ilmu ini memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
      •       
Artinya: ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.


BAB IV
PENUTUP

Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.
Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.

















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rasihon, dan Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Hasibuan, Armyn, Ilmu Tasawuf, Padangsidimpuan: STAIN Press, ttp.
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar